TB, Penyakit Menular yang Minim Sosialisasi

Dibandingkan dengan sejumlah penyakit yang kerap menjadi momok di masyarakat, tuberkulosis relatif tidak masuk daftar penyakit yang mengkhawatirkan. Akan tetapi, penyakit yang jamak dipahami menyerang saluran pernapasan tersebut ternyata merupakan salah satu penyakit menular dengan angka tertinggi di Indonesia. Meski demikian, perhatian publik terhadap penyakit ini masih kurang.

Indonesia menjadi salah satu dari tiga negara di dunia dengan jumlah penderita tuberkulosis terbanyak selama lebih dari satu dekade. Angka penderita tuberkulosis (TB) cukup memprihatinkan. Mengacu pada data dasar (baseline data) TB tahun 1990, angka insiden (penderita baru) adalah 343 per 100.000 penduduk, angka prevalensi (kejadian) TB mencapai 443 per 100.000 penduduk, dan angka mortalitas (kematian) akibat TB sebanyak 92 per 100.000 penduduk.

Satu dekade kemudian, mengacu pada global report yang dilansir Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), angka TB di Indonesia jauh membaik. Tahun 2010, angka insiden menurun menjadi 189 per 100.000 penduduk, angka prevalensi menjadi 289 per 100.000 penduduk, dan angka mortalitas 27 per 100.000 penduduk. Penurunan angka tersebut menjadi penanda bahwa penyakit TB ditangani sangat serius di negeri ini.

Meski demikian, penyebaran TB masih harus terus diwaspadai sebab penyakit ini termasuk mudah menular dan membutuhkan perawatan jangka panjang yang tekun. Pada tahun 2013, Kementerian Kesehatan menemukan 193.310 kasus baru TB positif. Jumlah kasus tertinggi dijumpai di provinsi dengan jumlah penduduk besar, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.

Perlu waspada

Jika selama ini terbentuk persepsi bahwa rumah menjadi media awal bagi orang untuk mengetahui berbagai hal, tidak demikian dengan penyakit TB. Fakta itu terekam dalam hasil jajak pendapat Kompas. Penjelasan awal tentang penyakit yang bisa menyerang segala umur, dari bayi hingga usia uzur, itu umumnya diperoleh publik melalui pendidikan formal, yaitu di bangku sekolah.

Dibandingkan dengan orangtua atau keluarga, peran lingkungan sebagai tempat pengenalan dini tentang TB lebih besar. Informasi tentang penyakit itu biasanya datang dari teman atau tetangga, di samping dari institusi kesehatan yang langsung berhubungan dengan kehidupan publik. Puskesmas, tenaga paramedis (dokter, bidan, perawat, mantri), dan rumah sakit berperan dalam mengenalkan TB kepada publik.

Walau pernah mendapat penjelasan tentang TB, ternyata publik yang merasa ragu terkait penyebab penyakit tersebut cukup banyak. Dua di antara tiga responden tak yakin apakah TB disebabkan oleh virus atau bakteri. Hal itu tampak dari pendapat publik yang cenderung setuju kedua jenis patogen (agen biologis penyebab penyakit) sebagai penyebab TB. Padahal, penyebab penyakit TB adalah bakteri yang disebut Mycobacterium tuberculosis.

Penemu bakteri TB adalah Dr Robert Heinrich Herman Koch, ilmuwan asal Jerman. Pada 24 Maret 1882, Koch mengumumkan penemuan bakteri yang saat itu menyebabkan kematian satu dari tujuh orang di Eropa dan Amerika. Tanggal itu kini diperingati sebagai Hari Tuberkulosis Sedunia. Saat ini diperkirakan sekitar 1,7 juta jiwa melayang setiap tahun di seluruh dunia karena penyakit tersebut.

Mycobacterium tuberculosis sebenarnya tak hanya menyerang paru, tetapi bisa juga menyasar kelenjar hingga tulang. Memang kasus terbesar TB adalah kuman yang bersarang pada saluran pernapasan. Untungnya mayoritas publik memahami cara penularan TB secara umum, yaitu melalui bersin atau batuk penderita. Butiran ludah yang tersebar melalui udara menyebarkan bakteri TB.

Secara umum publik menyadari perilaku apa yang berbahaya meningkatkan kerentanan terhadap penyakit TB, salah satunya merokok. Setidaknya pemahaman itu menimbulkan kesadaran untuk berhati-hati terhadap lingkungan sekitar dan meminimalkan perilaku yang riskan menyebabkan orang mudah terjangkit TB.

Sosialisasi kurang

Meski TB dapat dijumpai pada berbagai lapisan masyarakat, pengetahuan terhadap penyakit tersebut cenderung belum memadai. Hal tersebut diungkapkan lebih dari dua pertiga publik. Mereka menilai, sosialisasi tentang penyakit TB kepada masyarakat, baik yang dilakukan pemerintah maupun pihak swasta, masih kurang. Beberapa indikasi tentang hal itu tampak dari persepsi publik yang terekam dalam hasil jajak pendapat ini. Hanya sekitar separuh publik berpendidikan menengah dan tinggi yang tahu pasti bahwa TB bukan penyakit keturunan. Begitu pula pemahaman publik terhadap fakta bahwa TB adalah penyakit menular, tetapi masih bisa disembuhkan, paralel dengan tingkat pendidikan. Semakin tinggi pendidikan, semakin tinggi kesadaran akan hal tersebut.

Pengetahuan yang bersifat intuitif belum memadai untuk memahami penyakit TB secara lebih baik. Jika masih dalam tahap awal, gejala penyakit, seperti berkeringat di malam hari dan berat badan perlahan menurun, masih samar untuk dikenali secara langsung. Gejala khusus, seperti batuk disertai dahak dengan bercak darah, baru timbul ketika TB sudah menjadi penyakit aktif. Padahal, jika tidak segera diobati, TB dapat menyebabkan kematian.

Apresiasi publik terhadap pelayanan kesehatan bagi penderita TB yang dinilai sudah memadai dapat menjadi salah satu pintu masuk sosialisasi lebih lanjut tentang penyakit ini. Diperlukan upaya serius untuk membuat masyarakat paham dan mengerti lebih baik tentang penyakit menular dengan angka tertinggi di Indonesia ini (http://print.kompas.com/baca/2015/03/24/TB%2c-Penyakit-Menular-yang-Minim-Sosialisasi)

Comments

Popular posts from this blog

Yayasan Ambulans Gawat Darurat 118

Kumpulan Para Dokter Bentuk "Medis Band"

MENKES DAN MENDIKBUD BERSEPAKAT SEKOLAH TEMPAT PEMBELAJARAN HIDUP SEHAT